Rabu, 19 September 2012
Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Muhammad Hatta
Mohammad
Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang
indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji
Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya,
Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak
tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong
Sumatranen Bond.
Sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi
hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun
dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa
tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya
menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta. Pada tahun 1921 Hatta tiba di
Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia
mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini
berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja
sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta
juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels
economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh
ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada
tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu
hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong
oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan
rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal
17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang
berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi
Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi
dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak
tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah
kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.
Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di
Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap
kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama
itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926,
dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin delegasi ke
Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa
banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia”
untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal
kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta
dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan
di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan
pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta
tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika
seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor
(Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah
bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland,
Swiss. Judul ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence
(Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama
dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22
Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan
yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia
Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan
judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada
studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra�jat
dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada
pertengahan tahun 1932.
Pada
bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933,
kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Rakjat
dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader
politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu
ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap
Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang
berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada
tulisan-tulisannya di Daulat Rakjat, yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10
Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933).
Pada
bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang
ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun
Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka
dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di
penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme.
Pada
bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel
(Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua
pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan
harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan
menerima bahan makanan in natura, dengan
tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau
bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah
menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah
Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam
pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat
pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya
yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta
mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya
di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan
bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara
lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.”
(empat jilid).
Pada
bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa
tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936
keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan
Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas
dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam
bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. Pada tanggal 3 Pebruari 1942,
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah
Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada
masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat.
Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia
bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian
sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah.
Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang
berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang
perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis
itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah
maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru
diperoleh pada bulan September 1944.
Selama
masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan
di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942
menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, �Indonesia
terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin
menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi
pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan
daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”
Pada
awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai
Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari
wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas
orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah
Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi
keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo,
Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan
untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun
teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan
kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya
ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni
mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja,
Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan
riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00
pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir
Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta
diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto
mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Indonesia
harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin
menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan
akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli
I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi.
dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju
Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana
Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan
protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran
dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan
pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua.
Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.Pada tanggal
27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam
Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu
Juliana.
Bung
Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat
berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung
Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan
tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang
ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk
melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung
Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.
Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal
17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres
Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi
antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan
Koperasi Membangun (1971).
Pada
tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk
surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada
Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden,
Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l
Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden
Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada
tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor
Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada
kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul �Lampau
dan Datang�. Sesudah Bung Hatta
meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga
diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung
mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian.
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa
dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris
Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul �Menuju
Negara Hukum�.
Pada
tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji Masyarakat.
Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung
Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa
pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi
bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada
tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka
mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah.
Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi
Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat
menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad
Athar Baridjambek.
Pada
tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia
Kelas I” pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta,
Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat
pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada
usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
sumber:
http://eksplorasi-dunia.blogspot.com/2010/08/bung-hatta-history.html
Ir.Soekarno
Soekarno lahir 06 Juni
1901 di Surabaya dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo(seorang guru) dan Ida ayu
Nyoman Rai(bangsawan Bali) yang lebih dikenal Idayu. Mula-mula namanya
Koesnososro Soekarno, tetapi karena sering sakit waktu kecil, kemudian di
panggil Soekarno saja.
Pada usia hampir 13 tahun,
Soekarno tamat Sekolah Dasar Bumiputera di Mojokerto, melanjutkan ke sekolah
dasar Belanda dan lulus pada usia 14 tahun dengan sekaligus mengantungi ijazah
ujian calon pegawai negeri rendahan. Melanjutkan ke HBS di Surabaya dan tinggal
di rumah HOS Tjokroaminoto, seorang pemimpin sarekat islam, setelah lulus masuk
tehnische Hoge School, Institut Teknologi Bandung, sambil terus bergerak
dibidang poliyik yang dimulai sejak di Surabaya. Soekarno memimpin studi klub
di Bandung bersama iskaq dan anwari, lulus lulus sebagai insinyur tahun 1925.
Masa kecil Soekarno hanya
beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat,
beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS
(Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng
jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan
melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang
sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI
(Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya
berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa
yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda
makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya.
Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun
1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan
yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI
pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno
mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17
Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara
aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga
berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan
Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang
menjadi Gerakan Non Blok.
Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot
Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap
bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah
banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah
sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah
tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer. Malam ini
desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk
ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah
beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu
pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan
tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat
jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero
jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah
gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda
bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi
bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir
jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua
tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek
lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua hari kemudian,
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi
ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka
matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan
didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak.
Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah
pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada
puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia
tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan
sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar
menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu,
perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini
menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu
tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera
dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus
berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma.
Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan
wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta
yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat
hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil
membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta
tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga
memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan
wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia
ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika
mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan
Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya.
Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang
sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya.
Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang
sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya
dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak
persabatannya yang demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan
Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu
bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua
matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi
bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia
tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun
melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota
tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua
orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak
akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut
nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan
tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang
demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas
itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua
matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak
lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa
berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan
sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan. Dunia melepas
salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang
menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno
adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali
dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim
dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi:
Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan
menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya
dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini
benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan
rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan
menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial
Belanda demi kemerdekaan negerinya.
Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat
saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis
tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dariCak Doel Arnowo yang telah
kami edit karena cukup panjang: Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di
sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan
sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia
hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja
tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya
penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah.
Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu
kentara terlihat oleh umum.
Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang
diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri
untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti
sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan
di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa
Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang
secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih
bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir
di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan
nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi
Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto
dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia
dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu
Nyoman Rai.
Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan
jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong
oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan
manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.
Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan
kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman
Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah
frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya
berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana?
Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya
iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di
Singosari, Utara kota Malang.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap
melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!”
Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut
Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat
amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan
pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi
bahkan dari Bali.
Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno,
di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut
terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab
kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau
makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak
memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang
Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah
dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam
Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah
saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman
sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam
Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Langganan:
Postingan (Atom)