Soekarno lahir 06 Juni
1901 di Surabaya dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo(seorang guru) dan Ida ayu
Nyoman Rai(bangsawan Bali) yang lebih dikenal Idayu. Mula-mula namanya
Koesnososro Soekarno, tetapi karena sering sakit waktu kecil, kemudian di
panggil Soekarno saja.
Pada usia hampir 13 tahun,
Soekarno tamat Sekolah Dasar Bumiputera di Mojokerto, melanjutkan ke sekolah
dasar Belanda dan lulus pada usia 14 tahun dengan sekaligus mengantungi ijazah
ujian calon pegawai negeri rendahan. Melanjutkan ke HBS di Surabaya dan tinggal
di rumah HOS Tjokroaminoto, seorang pemimpin sarekat islam, setelah lulus masuk
tehnische Hoge School, Institut Teknologi Bandung, sambil terus bergerak
dibidang poliyik yang dimulai sejak di Surabaya. Soekarno memimpin studi klub
di Bandung bersama iskaq dan anwari, lulus lulus sebagai insinyur tahun 1925.
Masa kecil Soekarno hanya
beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat,
beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS
(Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng
jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan
melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang
sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI
(Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya
berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa
yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda
makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya.
Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun
1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan
yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI
pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno
mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17
Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara
aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga
berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan
Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang
menjadi Gerakan Non Blok.
Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot
Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap
bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah
banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah
sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus
mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah
tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer. Malam ini
desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk
ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah
beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu
pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan
tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat
jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero
jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah
gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda
bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi
bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir
jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua
tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek
lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua hari kemudian,
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi
ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka
matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan
didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak.
Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah
pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada
puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia
tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan
sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar
menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu,
perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini
menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu
tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera
dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus
berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma.
Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan
wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta
yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat
hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil
membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta
tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga
memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan
wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu.
Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia
ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik
bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika
mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan
Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai
bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya.
Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang
sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu
mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya.
Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang
sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya
dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak
persabatannya yang demikian erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan
Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu
bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah
buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua
matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi
bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia
tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun
melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota
tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua
orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini.
Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak
akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut
nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan
tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang
demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas
itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua
matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak
lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa
berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan
sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan. Dunia melepas
salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang
menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno
adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali
dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim
dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi:
Soekarno telah meninggal.
Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan
menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya
dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini
benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan
rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan
menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial
Belanda demi kemerdekaan negerinya.
Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat
saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis
tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dariCak Doel Arnowo yang telah
kami edit karena cukup panjang: Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di
sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan
sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia
hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja
tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya
penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah.
Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu
kentara terlihat oleh umum.
Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang
diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri
untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti
sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan
di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa
Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang
secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih
bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir
di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan
nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi
Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto
dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia
dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu
Nyoman Rai.
Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan
jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong
oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan
manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.
Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan
kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman
Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah
frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya
berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana?
Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya
iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di
Singosari, Utara kota Malang.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap
melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!”
Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut
Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat
amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan
pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi
bahkan dari Bali.
Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno,
di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut
terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab
kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau
makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak
memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang
Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah
dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam
Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah
saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman
sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam
Bung Karno yang memakan area cukup lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar